Jumat, 13 Mei 2011

anoman

(Sekadar catatan: Sebagai upaya pengembangan budaya bangsa, secara insidental blog ini akan menyajikan kisah wayang purwa dengan bahasa yang ringan dan dikemas dalam konteks kekinian; sedikit nakal, mbeling, dan slengekan. Selamat menikmati!)
Dengan gerakan lincah dan cekatan, Anoman meloncat dari satu pohon ke pohon lain di Taman Argasoka yang sejuk dan rindang. Mulutnya tergagap-gagap melantunkan sepotong puisi sentimentil. Maklum, sebagai serdadu, selama ini lidahnya hanya fasih menerjemahkan komando atasan. Meski demikian, vokal sember itu mampu membikin dada Dewi Shinta berdebar-debar. Teringat sosok lelaki flamboyan yang sudah lama dirindukannya; Sri Rama. Trijata, putri Alengka yang diberi tugas membujuk Dewi Shinta agar mau melayani nafsu bejat Rahwana pun tak sanggup menyembunyikan perasaan haru.
“Oh … Sri Rama, junjungan hamba yang sedang berduka. Betapa malang nasib Paduka, memburu sang permaisuri yang tak jelas rimbanya. Gunung didakinya, jurang dituruninya, lurah dijenguknya, sungai diseberanginya, semata-mata demi Putri Shinta. Kini, di Argasoka, sang Putri berada dalam cengkeraman Rahwana.”
Sambil meloncat ringan dari pohon nagasari yang rimbun, bibir Anoman terus berpuisi ria mengabarkan keberadaan Sri Rama yang waswas memikirkan keselamatan Dewi Shinta. Untuk meyakinkan benar-benar duta Sri Rama, Anoman menyerahkan sebuah cincin kepada Dewi Shinta. Dengan tangan gemetar, perempuan sintal itu mengusap permata cincin yang tiba-tiba bersinar cemerlang. Seketika tubuhnya mengigil dahsyat. Wajahnya kian memucat. Air matanya mengalir menganak sungai, tak sanggup menahan arus perasaan yang membobol dinding nuraninya. Saat Shinta memasang cincin itu ke jari manisnya, lubang cincin itu teramat longgar, demikian pula saat dikenakan di jari tengah dan ibu jarinya. Kini, Anoman tahu, selama di Alengka permaisuri junjungannya itu benar-benar hidup dalam kubangan penderitaan. Dengan perasaan haru, Anoman menyampaikan tekad Sri Rama untuk membebaskan Putri Shinta dari cengkeraman Rahwana.
Trim’s banget. Ente udah nyampein kabar Mas Rama pada Shinta!” ujar Shinta dengan vokal lirih nyaris tak terdengar. Anoman manggut-manggut sambil memusatkan kepekaan telinganya. Tiba-tiba terdengar derap langkah sepatu lars menuju ke Taman Argasoka. Jelas, itu suara barisan prajurit Alengka. Dengan terbata-bata, Shinta meminta Anoman segera meninggalkan taman setelah memberikan tusuk konde Cundomanik dan sepucuk surat untuk Sri Rama.
“Om, jangan lupa sampein tusuk konde dan surat ini sama Mas Rama. Sampein juga suara batin Shinta yang rindu berat!” pesan sang Putri untuk yang terakhir kalinya dengan tenggorokan tercekat. Tanpa menjawab, Anoman segera meluncur meninggalkan Taman Argasoka. Trijata yang berubah menaruh empati terhadap penderitaan Shinta, terkagum-kagum atas keberanian Anoman yang dapat menerobos barikade pasukan Alengka. Sepasang matanya yang bening tak berkedip menyaksikan ketangkasan Anoman meliuk-liuk di atas pepohonan hingga lenyap di balik tembok taman.
Misi Anoman untuk mengetahui keberadaan Shinta tuntas dilaksanakan. Namun, masih ada satu misi yang mesti dia lakukan; menguji kekuatan Alengka. Kabar yang gencar dilansir berbagai media, pasukan Alengka dikenal sangat militan dan dilengkapi dengan senjata supercanggih, bukanlah isapan jempol. Anoman telah merasakan betapa dahsyatnya kekuatan Angkatan laut Alengka. Hampir saja dia menjadi korban keganasan Tatakini dan Wilkataksini, serdadu Angkatan Laut Alengka yang memiliki “jam selam” nggegirisi. Beruntung dia memiliki senjata Cupumanik Astagina, sehingga mampu melumpuhkan prajurit kejam dan sadis itu.
Kini, Anoman hendak menguji kekuatan tempur pasukan Alengka yang sesungguhnya. Dengan cekatan, dia segera membikin ulah yang menggegerkan semua penghuni istana. Pepohonan di sekitar istana dicabuti. Tembok tebal Taman Argasoka dihancurkan. Suasana hiruk-pikuk. Semua penghuni istana berhamburan keluar, menyaksikan ulah seekor kera putih yang tengah bikin keonaran. Dua batalyon prajurit bertubuh raksasa dan berwajah angker dengan senjata supercanggih segera terjun ke gelanggang. Hanya dengan sekali komando, ribuan timah panas melesat merajam tubuh Anoman. Namun, dengan tangkas, Anoman meliuk-liuk dan menukik ke udara. Tak satu pun peluru menyentuh kulitnya. Para prajurit Alengka semakin bernafsu meringkusnya.
Melihat situasi makin gawat, Anoman melolos senjata Cupumanik Astagina. Setelah ber-tiwikrama beberapa detik, tiba-tiba tubuhnya berubah menjadi raksasa dengan kekuatan berlipat-lipat. Para serdadu Alengka terbengong-bengong. Dengan cepat, Anoman mencabut pohon nagasari tua yang masih tersisa, lantas dijadikan senjata untuk melabrak ribuan prajurit Alengka yang mengepungnya. Hanya dengan sekali gebrak, ratusan prajurit tewas dengan tubuh remuk-bubuk. Teriakan dan pekik histeris membahana.
Ulah Anoman kian menjadi-jadi. Sudah ribuan prajurit menjadi korban keganasannya. Hal itu membuat Saksadewa, putra kesayangan Rahwana, gusar. Dengan langkah berat, dia melolos senjata Gandrasa yang konon mampu menyemburkan gas beracun. Namun, sekali lagi, Saksadewa dibikin panik. Anoman dapat berkelit, bahkan di luar dugaan tiba-tiba mencabut sebatang pohon raksasa, lantas dengan kekuatan penuh dihantamkan telak ke kepala Saksadewa. Tak ayal, tengkorak kepala Saksadewa hancur berkeping-keping. Tewas.
Kematian Saksadewa yang mengenaskan menyebabkan Indrajit, putra sulung Rahwana, marah besar. Tanpa basa-basi, dia meloncat ke atas Yaksa Singa, kendaraan berlapis baja yang konon pernah memorak-porandakan Kahyangan. Dengan penuh nafsu, Indrajit melabrak Anoman yang berdiri santai di bawah pohon yang rimbun. Namun, Anoman kembali dapat menjinakkannya. Dengan cekatan, dia mencabut sebatang pohon, menghantamkannya secara telak ke perut Yaksa Singa. Tak pelak, kendaraan berlapis baja itu hancur berantakan. Tubuh Indrajit terpelanting ke udara.
Dihinggapi rasa penasaran dan kepanikan, Indrajit melepaskan panah Trisula. Akan tetapi, anak panah itu dijinakkan dan dipatahkan menjadi beberapa potong. Indrajit geleng-geleng. Dia melolos senjata pamungkasnya, panah Nagageni, yang pernah membikin Dewa Indra kelimpungan menghadapinya. Secepat kilat, panah Nagageni meluncur, mendesis, dan menyala merah. Kali ini, Indrajit bisa bernapas lega. Panah itu menembus paha kiri Anoman yang telah berubah wujud menjadi kera putih. Merasa belum puas, Indrajit melepaskan panah Nagapasa. Luar biasa. Panah itu mendadak berubah menjadi naga raksasa yang mengerikan, dan dengan cepat membelit tubuh Anoman. Kera putih itu benar-benar tak berdaya. Para prajurit Alengka yang selamat dari amukan Anoman bersorak-sorak, mengelu-elukan Indarjit.
Namun, sebenarnya hal itu hanya sekadar taktik bagi Anoman agar bisa bertemu dengan Rahwana. Taktiknya sukses. Anoman segera diserahkan kepada Rahwana. Di hadapan penguasa lalim itulah, Anoman melampiaskan rasa muaknya dengan setumpuk caci-maki dan sumpah-serapah.
“Sungguh, nggak bakalan langgeng kekuasaan rezim yang suka main culik, pengecut, bermoral rendah, rai gedheg. Penguasa busuk macam Sampeyan yang selalu mengklaim diri didukung banyak kalangan, lambat tapi pasti kekuatan koalisi itu akan berbalik menghantam Sampeyan. Tidak percaya? Buktikan saja!” ledek Anoman memancing amarah Rahwana. Tentu saja yang diledek murka. Tangannya menggebrak meja berukiran indah hingga hancur berkeping-keping.
Keparat! Kubunuh kamu monyet jelek!” Hampir saja kepalan tangannya yang kukuh menghantam wajah Anoman, tapi dapat dicegah Wibisana. Amarah Rahwana tak juga reda. Rezim diktator itu segera memerintahkan prajuritnya untuk membakar Anoman hidup-hidup.
Peristiwa yang amat tragis itu pun tak bisa dhindari. Di tengah alun-alun, ribuan penduduk dan prajurit Alengka menyaksikan tubuh Anoman dilalap si jago merah. Namun aneh. tiba-tiba saja di tengah bara api yang menjilat langit itu, dengan tangkas Anoman melenting ke udara sambil membawa seunggun api, lantas menyebarkannya ke segenap penjuru Alengka. Angin kemarau yang kencang bertiup membikin bara api kian dahsyat meluluhlantakkan seisi kota. Suasana Alengka berubah kacau dan gempar.
Sementara itu, di Taman Argasoka, Dewi Shinta dicekam kepanikan memikirkan nasib Anoman. “Jangan-jangan dia udah ketangkep!” bisiknya dalam hati. Namun, kepanikannya sirna setelah menyaksikan Anoman telah berdiri di sampingnya. Harapannya untuk bisa terbebas dari sekapan Rahwana kembali membayang di kepala. Baginya, Anoman dianggap sebagai sang pembebas yang akan membuka jalan bagi pengabdian hidup lahir batin kepada lelaki pujaannya, Sri Rama.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More